
Oleh : Alfian Nur Akhyar (Mahasiswa Akademi Al Qur’an FKAM)
Segala puji bagi Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala nikmat yang kita rasakan merupakan anugerah dari-Nya yang tak terhingga. Kita berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat kepada kita, memungkinkan kita berkumpul di sini hari ini.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW. Beliau adalah utusan Allah yang membawa risalah Islam, memberikan teladan akhlak yang mulia, dan menjadi contoh bagi umatnya dalam menjalani kehidupan. Semoga kita diberikan kesempatan untuk bersamanya di surga yang penuh kenikmatan.
Saudara-saudara yang dirahmati Allah, dalam kesempatan yang Allah berikan ini, marilah kita bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita serta memperbanyak ketaatan kepada-Nya.
Para jamaah, bapak-bapak, ibu-ibu yang dimuliakan Allah SWT
Dari Abu Abdullah an-Nurman bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma Nabi SAW bersabda :
Artinya :
“Ingatlah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka biak pula seluruh jasad. Jika ia rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketauhilah bahwa ia adlah hati (jantung)”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sabda Nabi SAW “ingatlah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging”. Kalimat ini ditegaskan dengan … “ingatlah” dan … “sesungguhnya , maknanya ingatlah bahwa di dalam tubuh manusia ada mudhghah, yakni sepotong daging seukuran yang bisa dikunyah oleh seorang saat makan, yakni ukuran sesuatu yang kecil.
Sabda Nabi SAW :
“Apabila ia (segumpal daging) baik maka baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ingatlah ia adalah hati.” Nabi mengaitkan jawab syarat kepada syarat, jika hati baik, maka baiklah jasad, dan jika rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya.
Sebagian ulama memberi contoh dalam masalah ini dengan raja, jika raja bai maka rakyat akan baik, dan jika raja rusak maka rakyat juga rusak. Akan tetapi para ulama peneliti melihat dan mereka mengatakan bahwa contoh ini tidak tepat, karena terkadang raja memerintahkan sesuatu, namu tidak ditaati, berbeda dengan hati, manakala ia memerintahkan sesuatu maka anggota tubuh pasti mematuhinya. Jadi, apa yang disebutkan dalam hadits ini lebih mendalam daripada dikatakan seperti raja yang memerintahkan rakyatnya, jika hati baik, maka pasti jasad akan baik pula dan jika hati rusak, maka jasad pasti rusak pula.
Hadist ini bisa dimaknai dalam dua sudut pandang :
1) Secara jasmani
Secara lahiriah, Nabi Muhammad SAW berpesan tentang betapa vitalnya fungsi jantung dalam tubuh manusia. Jantung punya fungsi utama memompa darah ke seluruh tubuh dan membuang sisa metabolisme tubuh. Jantung yang normal adalah pangkal jasmani yang sehat. Sebaliknya ketika jantung mengalami gangguan, maka terganggu pula kesehatan tubuh secara keseluruhan.
2) Secara rohani
Istilah … dimaknai sebagai apa yang sering kita sebut dengan hati. Hati memang tak kasat mata tapi pengaruhnya kepada setiap gerak-gerik manusia amat menentukan. Ia tempat berpangkalnya niat. Tulus atau tidak, jujur atau pura-pura, lebih sering hanya diketahui oleh Allah dan pemilik hati sendiri. dalam Islam, hati merupakan sesuatu yang paling kokoh, ibarat jantung rusaknya hati berarti rusaknya tiap perilaku manusia secara keseluruhan. Maksud dari hadist Rasulullah SAW tentu lebih pada pemaknaan yang kedua ini.
Para jama’ah, bapak-bapak, ibu-ibu yang dimuliakan Allah
Lalu muncul sebuah pertanyaan para jamaah sekalian “apa yang menyebabkan hati rusak?”
Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya yang berjudul Munabbihat ala isti’dadi li yaumil mi’ad) memaparkan penjelasan Imam Hasan al Basri bahwa setidaknya ada enam hal yang membuat hati manusia rusak. Diantaranya :
1) Berbuat dosa dengan berharap kelak ia bisa bertobat
Ia sadar bahwa apa yang dilakukan adalah kedurhakaan tapi berangan-angan ia bisa menghapus kesalahan-kesalahan kini dikemudian hari. Ini merupakan sebuah kesombongan karena terlalu percaya diri bahwa Allah akan memberinya kesempatan bertobat lalu melimpahinya rahmat juga masuk kategori sikap meremehkan karena perbuatan dosa dilakukan bukan karena kebodohan melainkan kesengajaan.
Perbuatann yang muncul dari perangai kesombongan banyak sekali, tidak terhitung da tidak perlu untung dihitung karena sudah masyhur. Demikianlah kesombongan, ia mempunyai keburukan yang besar dan banyak, kesombongan dapat menghancurkan orang alim. Sedikit sekali orang yang dapat terlepas dari kesombongan, baik para ahli ibadah, ahli zuhud, para ulama dan terlebih orang-orang awam. Bagaimana keburukan kesombongan tidak besar sedangkan Rasulullah SAW telah bersabda “Tidak masuk surga orang yang di hatinya terdapat seberat dzarrah kesombongan”.
Kesombongan menjadi penghalang seseorang dari surga karena kesombongan telah menghalangi seseorang berakhlak dengan akhlak kaum mukminin. Padahal akhlak kaum mukminin itulah yang merupakan pintu menuju surga. kesombongan dan perasaan tinggi hati menutup semua pintu tersebut. Karena orang yang sombong tidak mampu mencintai kaum mukminin. Sebagaimana dia mencintai diri sendiri. di dalam hatinya terdapat perasaan tinggi hati. Dia tidak bisa berlaku tawadhu. Padahal tawadhu adalah akhlak orang-orang yang bertakwa. Seburuk-buruk kesombongan adalah kesombongan yang membuat orang tidak mau mendapatkan ilmu, menerima kebenaran. Oleh karena itu, ketika memberi definisi tentang kesombongan, Rasulullah SAW bersabda :
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”
Begitu juga seseorang yang melakukan dosa secara sengaja dan ia mengira bahwa setelah ia melaukan dosa ia dapat bertobat kepada Allah. Maka hal yang semacam ini termasuk perilaku sombong kepada Allah dan inilah perilaku sombong yang paling buruk. Hal ini terjadi tidak lain karena kebodohan dan kedurhakaan.
Maka dari itu para jamaah sekalian, mari kita bersama-sama, kerahkan seluruh tenaga kita untuk menjauhi maksiat dan senantiasa kita menambah ketaatan kita kepada Allah.
Para jamaah, bapak-bapak, ibu-ibu, yang dimuliakan Allah
2) Berilmu tapi tidak mau mengamalkan ilmunya
Seseorang yang memiliki ilmu, tetapi ia enggan mengamalkan ilmunya. Maka ia belum memahami hakikat daripada ilmu. Pepatah bijak mengatakan :
“Ilmu tanpa amal itu bagaikan pohon tanpa buah”
Pengamalan dalam kehidupan sehari-hari dari setiap pengetahuan tentang hal-hal baik adalah tujuan dari ilmu. Hal ini juga menjadi penanda akan keberkahan ilmu. Karena seseorang dikatakan ilmunya barakah memiliki barometer yakni ada 2 :
- Mudah diamalkan ilmu tersebut
- Mudah disampaikan kepada orang lain
Sedangkan pengertian “tidak mengamalkan ilmu” bisa memiliki 2 pengertian :
- Mendiamkannya hanya sebagai koleksi pengetahuan dalam kepala
- Si pemilik ilmu berbuat yang berbuat yang bertentangan dengan ilmu yang dimiliki, kondisi ini bisa menyebabkan rusaknya hati.
Para jamaah sekalian yang dimuliakan Allah
3) Ketika seseorang beramal, ia tidak ikhlas
Setelah ilmu diamalkan, urusan belum selesai. Sebab, manusia masih dihinggapi hawa nafsu dari mana-mana, ia mungkin saja berbuat baik banyak sekali namun sia-sia belaka karena tidak ada ketulusan berbuat baik, lantas apa arti dari ikhlas sendiri?
Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarub kepada Allah SWT dari hal-hal yang mengotorinya. Arti lainnya menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan. Atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada kholiq.
Ikhlas adalah syarat diterimanya amal shalih yang dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Sebagaimana firman ALlah QS. Al Bayyinah : 5.
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada ALlah dengan memurnikan agama kepadanya, lagi bersikap lurus”
Adapun resep untuk ikhlas adalah memupus kesenangan-kesenangan hawa nafsu, ketamakan terhadap dunia dan mengusahakan agar hati selalu terfokus kepada akhirat.
Sebagaimana dikisahkan ada seseorang yang selalu menunaikan sholat di shaf pertama, suatu ketika ia terlambat karena dilihat orang banyak. Dari sini, ia tahu bahwa ketenangan hatinya dalam melaksanakan shalat di shaf pertama selama ini disebabkan oleh pandangan orang-orang kepadanya.
Itulah contoh betapa sedikit amal yang dikerjakan dengan ikhlas. Betapa sedikit orang yang menyadarinya, kecuali orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah.
Sebagaimana fudhai berkata, “Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Para jamaah sekalian
4) Memakan rezeki Allah tapi tidak mau bersyukur
Karunia dan syukur merupakan pasangan yang tidak bisa dipisahkan, jika tidak ada kehidupan manusia di du nia ini yang luput dari karunia ALlah, maka bersyukur adalah pilihan sikap wajib. Orang yang tak mau bersyukur adalah orang yang tidak bisa memahami hakikat rezeki. Jenis anugrah Allah mungkin ia batasi hanya kepada ukuran. Yang bersifat material belaka, misalnya jumlah uang, rumah, jenis makanan, dan lain-lain. Padahal rezeki telah diterima setiap saat, berupa nikmat bendawi maupun non bendawi, mulai dari nafas, waktu luang, akal sehat, hingga berbagai kecukupan kebutuhan lainnya seperti makan, sandang, papan. Hanya mereka yang sanggup merenungkannya yang akan jauh dari kufur nikmat alias tidak bersyukur.
Syekh Nawawi al bantani dalam Nashahihul ibad mengartikan sykuur dengan menggunakan anggota badan dan harta beda untuk sesuatu yang mendatangkan ridho Allah. Artinya selain ucapan alhamduillah, kita dianggap bersyukur bila tingkah laku kita, termasuk dalam penggunaan kekayan kita, bukan untuk jalan maksiat kepada Allah.
5) Tidak ridha dengan karunia Allah
Pada level ini orang bukan hanya tidak mau mengucapkan rasa syukur. Tapi juga kerap mengeluh, merasa kurang bahkan dalam bentuknya yang ekstrim melakukan proses kepada Allah. Allah memberikan kadar rezeki pada hambanya sesuai dengan prorposional. Tidak ada hubungan langsung bahwa yang kaya adalah mereka yang paling disayang Allah. Sementara yang miskin adalah mereka yang sedang dibenci Allah. Bisa jadi justru apa yang kita sebut “kurang” sebenarnya adalah kondisi yang paling pas agar kita selamat dar tindakan merampas batas. Betapa banyak orang berlimpah harta namun malah lalai dengan tanggung jawab kehambaannya, boros, sombong, berfoya-foya, kikir, tenggelam dalam kesibukan duniawi dan lupa akhirat dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman di dalam QS. Asy Syura : 27
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki, kepada hambanya tentulan mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurukan apa yang dikehendaki-Nya, dengan ukuran, sesungguhnya Dia maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”.
Para jamaah sekalian
6) Mengubur orang mati namun tidak mengambil pelajaran darinya
Peristiwa kematian adalah nasihat yang lebih gampang daripada pitado-pidato ceramah. Ketika ada orang meninggal kita disajikan fakta yang jelas bahwa kehidupan dunia ini fana liang kuburan adalah momen perpisahan kita dengan seluruh kekayaan, jabatan, status soisal dan popularitas yang pernah dimiliki. Selanjutnya orang mati akan berhadapan dengan semua pertanggungjawaban atas apa yang ia perbuat selama hidup di dunia. rasulullah SAW bersabda :
“Sungguh liang kubur merupakan awal perjalanan akhirat jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam”. (HR. Tirmidzi)
Referensi Buku :
- Al Qur’an
- Hadist
- Kitab Mahfudzat
- Syarah Hadist Arbain (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
- Kitab Nashoikul Ibad (Imam An Nawawi Albantani)
- Tazkiyatun Nafs (Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayim Aljauzi, Imam Al Ghazali)
- Kitab (Ibnu Hajar al Asqalani)