
Oleh: Usamah Muqimuddin (Mahasiswa Akademi Al Qur’an FKAM)
Syukur alhamdulillah menjadi kalimat pembuka kita pada kesempatan kali ini, atas limpahan nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita seperti nikmat sehat, sempat, dan tentunya nikmat keimanan yang Allah tancapkan pada hati kita. Semoga dengan syukur yang kita senantiasa panjatkan kepada Allah, kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
Kedua kalinya sholawat bertangkaikan dengan salam selalu kita junjung haturkan kepada sang suri tauladan, Nabi akhir zaman, baginda besar Nabi Muhammad SAW.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah. Sebelumnya saya mau nanya, bagiamana kabarnya Pak, Buk? Sehat nggih? Alhamdulillah semoga tidak hanya sehat jasmaninya saja, tetapi rohaninya juga sehat dan dengan kesehatannya itu dapat menambah taat kita kepada Allah. Allahumma? Aamiin.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah. Di dalam perjalanan kehidupan kita di dunia ini, maka tidak akan mungkin kita terlepas dari pada ujian dan cobaan. Baik kita orang kaya, baik kita orang gak punya, baik kita rakyat biasa, baik kita pejabat atau bahkan ustad sekalipun tidak akan lepas daripada ujian dan cobaan dari Allah SWT.
Karena memang kehidupan dunia ini adalah tempatnya ujian, sebagaimana terdapat dalam salah satu qoul ulama yang berbunyi:
“Dunia adalah tempatnya ujian”.
Setelah kita mengetahui bahwa dunia adalah tempatnya ujian dan cobaan, lalu bagiamana sih sikap yang harus kita ambil dalam menghadapi ujian yang Allah berikan kepada kita? Tetapi sebelum kita beranjak ke pembahasan itu, mari kita pahami dulu konteks ujian yang Allah SWT berikan kepada kita.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah. Ternyata yang ujiannya paling berat itu bukan Bapak atau Ibu yang hadir, bukan juga saya, lalu siapa yang sebenarnya yang ujiannya itu paling berat? Maka jawabannya adalah para nabi yang diutus oleh Allah SWT.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah. Ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh salah satu jamaah di sebuah kajian, kurang lebih pertanyaannya seperti ini, “Bismillah. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Ustad, ana ada sebuah pertanyaan. Di dalam QS. Asy-Syuaraa: 30, Allah SWT berfirman, ‘Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah Ta’ala memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)’. Dan dalam sebuah hadits disebutkan (yang intinya adalah) bahwa para nabi yang Allah Ta’ala utus adalah orang-orang yang mendapatkan ujian-ujian yang paling berat. Lalu bagaimana cara untuk memahami persoalan di atas? Karena jika musibah disebabkan oleh dosa dan maksiat kepada Allah Ta’ala, maka mengapa para nabi justru adalah orang-orang yang ujiannya paling berat, sedangkan kita tahu bahwa mereka semua itu ma’shum? Jazakumullah khayr atas jawabannya”.
Lalu dijawab oleh Al-Ustadz Abdullah Roy, Lc., dengan jawaban seperti ini, “Para Nabi ‘Alaihimussalam ma’shum (terjaga) dari dosa-dosa besar, adapun dengan dosa-dosa kecil maka kadang terjadi pada sebagian mereka, namun dosa kecil tersebut tidak berhubungan dengan penyampaian wahyu, kemudian dengan segera mereka bertaubat dan beristighfar kepada Allah Ta’ala, sebagaimana kisah Nabi Adam ketika memakan buah terlarang, Nabi Musa ketika memukul orang Mesir, Nabi Yunus ketika meninggalkan kaumnya, dll. Dan ini adalah pendapat daripada mayoritas para ulama”.
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
Yang artinya, “Maka sesungguhnya pendapat bahwa para nabi ma’shum dari dosa besar tanpa dosa kecil adalah pendapat sebagian besar ulama Islam dan semua kelompok sampai sebagian besar ahli kalam, Abul Hasan Al-Amidi menyebutkan bahwa ini adalah pendapat sebagian besar Asy-‘Ariyyah dan ini pendapat sebagian besar ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih, bahkan tidak dinukil dari para salaf, para imam, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in kecuali ucapan yang sesuai dengan pendapat ini”. (Majmu’ Al-Fatawa 4/ 319)
Dan perlu diketahui bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa hikmah dari musibah yang menimpa orang yang beriman selain menggugurkan dosa adalah mengangkat derajatnya, sebagaimana yang disebutkan oleh An-Nwawy (Minhaj Syaih Shahih Muslim 16/ 218).
Berkaitan dengan digugurkannya dosa/ diangkat derajatnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang berbunyi:
Artinya, “Tidaklah menimpa seorang mukmin sebuah musibah, duri atau musibah yang lebih besar dari itu kecuali Allah Ta’ala akan mengangkat derajatnya atau ia akan menggugurkan dosa-dosanya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dan lafadznya milik Muslim)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat:
Beliau berkata:
Artinya, “Yaitu Allah Ta’ala menggugurkan sebagian dosa-dosa mereka kalau mereka memiliknya, dan kalau tidak (memiliki dosa) maka diangkat derajatnya sesuai dengan musibah yang menimpanya”. (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adhzim 2/ 127)
Dengan demikian Insya Allah Ta’ala kita bisa memahami hadits Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang antum isyaratkan, ketika beliau bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?” Maka Nabi Muhammad SAW bersabda,
Artinya, “Orang yang paling keras ujiannya adalah para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar keagamaannya, kalau kuat agamanya maka semakin deras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah Ta’ala sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih)
Yaitu bahwasanya musibah yang menimpa mereka adalah untuk mengangkat derajat mereka menujukkan pada umat tentang kesabaran mereka dan menjadi teladan bagi manusia dalam menghadapi ujian.
Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Bazz Rahimahullahu:
Artinya, “Allah ‘Azza Wa Jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan dan kesusahan, dan terkadang Allah menguji mereka untuk meninggikan derajat mereka, mengangkat penyebutan mereka, dan melipatgandakan pahala mereka sebagaimana apa yang Allah Ta’ala lakukan terhadap para nabi dan rasul ‘alaihimushshalawatuwassalam, dan juga hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih”. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Bin Baz 4/ 370)
Bapak Ibu yang dirahmati Allah Ta’ala. Itu tadi adalah penjabaran secara jelas tentang mengapa para Nabi ujiannya paling berat, sekarang mari simak beberapa kisah tentang ujian yang dihadapi oleh nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala.
Yang pertama adalah kisah Nabi Ayyub ‘Alaihissalam, yang dimana kisah beliau diceritakan dalam Al-Qur’an pada surah Al-Anbiya dan pada surah Shad. Bapak Ibu yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Dikisahkan bahwa Nabi Ayyub Alaihissalam mendapat ujian dari Allah Ta’ala berupa sakit kulit. Beberapa riwayat mengatakan bahwa sakit yang diderita Nabi Ayyub Alaihissalam semacam penyakit kusta. Beberapa riwayat mengatakan bahwa penyakit itu menular, hingga banyak orang yang menjauhinya.
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Anbiya ayat 83:
Artinya, “Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di amtara semua penyayang’”.
Dikutip dari buku Kisah Luar Biasa 25 Nabi dan Rasul, Nabi Ayyub ‘alaihissalam merupakan sosok yang pandai, bersih, sopan, dan bijaksana. Dia dikenal sangat kaya raya karena memiliki banyak ternak dan lahan yang luas. Namun kekayaannya tidak menjadikan dia sombong, justru Nabi Ayyub ‘alaihissalam menggunakan hartanya untuk menolong sesama. Ia selalu bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala dan tidak pernah lepas dari zikir kepada-Nya.
Pada suatu ketika, Iblis merasa tidak senang dengan kesholehan yang dimiliki Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Ia meminta izin kepada Allah Ta’ala untuk mengetahui keimanan Nabi Ayyub ‘alaihissalam. Atas izin Allah Ta’ala iblis pun mengumpulkan bala tentaranya dan membakar seluruh harta Nabi Ayyub ‘alaihissalam.
Nabi Ayyub ‘alaihissalam tetap bersabar, kemudian iblis mencelakakan keturunan Nabi Ayyub ‘alaihissalam hingga tidak ada yang tersisa. Sampai akhirnya iblis menggoda dengan datangnya penyakit, namun Nabi Ayyub ‘alaihissalam menerima semua ujian dengan penuh kesabaran. Bahkan tidak pernah meninggalkan sholat dan zikir.
Yang kedua adalah kisah baginda yang mulia Nabi Muhammad SAW, betapa teguh dirinya dalam menghadapi cobaan kehidupan, alangkah sabarnya ia menerima cobaan-cobaan, begitu teguh pendiriannya dalam memperjuangkan kebenaran, sungguh indah perangainya dalam segala kepribadiannya. Patutlah ia mendapat gelar Al-Amin.
Ketika ia dalam kandungan, Abdullah ayahandananya wafat sebelum sempat ia mengecup keningnya, belum dapat bergembira riang mempunyai buah hati kesayangan. Diasuhlah ia yang yatim oleh ibundanya penuh kasih sayang, walau hidup dalam kondisi pas-pasan. Penuh semangat ibundanya mencari secercah harapan dan penghidupan. Sampai suatu ketika, saat sedang perjalanan, saat sang Nabi masih berumur enam tahun usianya sebelum ia mengenal banyak kasih sayang ibundanya, sebelum bisa membuktikan baktinya langsung di hadapan yang ibunda tersayang, ibundanya yang berjuang untuknya, wafat saat perjalanan pulang, lengkaplah ia sebagai yatim piatu.
Setelah kesedihan itu berlarut dalam sosok jiwa yang akan menjadi seorang utusan itu, ia sudah siap, lalu ia diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Mutholib, tak berapa lama ternyata sang kakek harus meninggalkannya terlebih dahulu. Berlanjutlah ia diasuh oleh pamannya, Abu Tholib. Sang nabi pun berkelana bersama pamannya, berjalan, menggembala kambing, berdagang sampai nan jauh di sana, keluar kota bahkan keluar dari negri-negri besar. Namun tak cukup sampai di situ ujian yang ia terima. Setelah ia menjadi insan terpilih, yang diutus oleh Allah Ta’ala, ia memperoleh perlakuan kejam oleh orang-orang yang kafir yang mereka tidak mempercayainya, bahkan oleh kaumnya sendiri. Padahal sebelum ia menjadi Rasul, mereka sangat cinta dan sayang kepadanya, karena memang ia sebelum diutus sudah tersohor sebagai orang yang baik hati, yang dielu-elukan oleh setiap orang, sebab perangainya yang begitu baik dan terpuji, sesuai dengan namanya Muhammad, dan julukannya sebagai Al-Amin, orang yang terpercaya.
Ia mendapat perlakuan yang tidak baik dari mereka orang-orang kafir, berupa celaan, ancaman, dan siksaan, namun apakah ia membalas semua itu? Tidak. Malah justru ia membalas semua itu dengan kesabaran dan keteguhan. Ia berkata, “Ya Allah mohon berilah mereka petunjuk, karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui”.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah Ta’ala. Dari kisah di atas yang sungguh sangat luar biasa, kita bisa mengambil pelajaran tentang bagaimana sikap yang mereka ambil ketika ditimpa musibah, ujian/ cobaan yang datang, yaitu bersabar, sholat, dan tentunya melihatkan Allah dalam penyelesaiannya. Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqoroh: 153.
“Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan juga dengan sholat”.
Bapak Ibu yang dirahmati Allah Ta’ala. Maka dari itu dalam menjalani proses kehidupan di dunia ini tentunya akan banyak ujian dan cobaan yang akan kita hadapi lalu setelah kita tahu bahwa apa yang dilakukan para Nabi ketika menghadapi ujian, maka kita berdoa pada Allah agar dipermudah dalam menyelesaikan semua ujian yang datang kepada kita, tentunya tanpa kita melupakan jalan-jalan yang sesuai dengan syariat dan jangan sampai kita mengambil jalan-jalan yang tentunya syariat melarang dan Gusti Allah tidak meridhoinya.
Mudah-mudahan kulo kalih panjenengan sedoyo senantiasa dibimbing dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan dimampukan untuk menghindari apa yang dilarang Allah Ta’ala. Aamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi:
– Tafsir Qur’anil Adzim, Imam Ibnu Katsir
– Majmu’ Al-Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah
– Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, Imam An Nawawi
– Majmu’ Fatawa wa Rasail, Syeikh Bin Baz
– Kisah Luar Biasa 25 Nabi dan Rasul, Henna Nur ‘Aeni
– Al-Qur’anul Karim
– Hadits